Oleh Badrul TamamAl-Hamdulillah, segala puji bagi Allah, Rabba semesta alam. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah –Shallallahu 'Alaihi Wasallam-, keluarga dan para mengatur pandangan seseorang dalam shalatnya. Karena pandangan seseorang memiliki pengaruh dalam kekhusyuan. Sementara khusyu' merupakan salah satu unsur penting untuk diterimanya shalat. Bahkan nikmatnya ibadah teragung ini tak akan diraih kecuali dengan kekhusyu'an. Karenanya, Syariat mengatur hukum berkaitan dengan pandangan mata dalam shalat. Salah satunya adalah larangan melihat ke atas atau ke Jabir bin Samurah Radhiyallahu 'Anhu berkata, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda,لَيَنْتَهِيَنَّ أَقْوَامٌ يَرْفَعُونَ أَبْصَارَهُمْ إِلَى السَّمَاءِ فِى الصَّلاَةِ أَوْ لاَ تَرْجِعُ إِلَيْهِمْ"Hendaknya kaum-kaum yang mengarahkan pandangan mereka ke langit dalam shalat itu bertaubat atau pandangan mereka terebut tidak akan kembali kepada mereka." HR. Al-Bukhari MuslimTambahan dalam riwayat al-Bukhari,لَيَنْتَهُنَّ عَنْ ذَلِكَ أَوْ لَتُخْطَفَنَّ أَبْصَارُهُمْ"Hendaknya mereka berhenti dari hal itu atau akan disambar pandangan mereka."Imam al-Nawawi rahimahullah menguraikan tentang makna hadits di atas,فيه النهي الأكيد والوعيد الشديد في ذلك وقد نقل الإجماع في النهي عن ذلك"Dalam hadits ini terdapat larangan yang sangat dan ancaman yang keras atas perbuatan itu. Dan telah dinukil adanya ijma’ konsensus atas larangan hal tersebut." Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 4/152Al-Hafidz dalam Fath al-Baari –dalam menerangkan hadits ini- menukil perkataan Ibnu Baththal rahimahullah, "Mereka berijma' atas dibencinya mengangkat pandangan dalam shalat. Mereka berbeda pendapat di luar shalat dalam bedoa; Syuraih dan sekelompok ulama memakruhkannya, sedangkan mayoritas membolehkannya."Al-Qadhi 'Iyadh berkata Mengangkat pandangan ke langit dalam shalat adalah termasuk bentuk berpaling dari kiblat dan keluar dari bentuk shalat."Ibnu Hajar dalam Al-Zawajir min Iqtiraf al-Kaba-ir mengategorikannya sebagai bagian dosa-dosa jelaslah bahwa larangan ini mengandung makna tahrim, yakni diharamkannya perbuatan tersebut. Terlebih terdapat ancaman, akan dibutakan mata orang yang melakukannya. Sementara Ibnu Hazm berpendapat –tanpa diikuti yang lain-, shalatnya menjadi batal. Lihat Subulus Salam, Imam al-Shan'ani 2/32Mari kita jaga pandangan kita dalam shalat sehingga tepat mengarahkannya. karena pandangan kita mempengaruhi kekhusyu-an di dalamnya. Jangan mengarahkan kepada atas karena itu tindakan kurang beradab kepada Dzat yang disembah dan pastinya menyalahi sunnah. Wallahu Ta'ala A'lam. [PurWD/
Niatberarti menyengaja untuk sholat, menghambakan diri kepada Allah Ta'ala semata, serta menguatkannya dalam hati. Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Semua amal tergantung pada niatnya dan setiap orang akan mendapat (balasan) sesuai dengan niatnya." (HR. Bukhari, Muslim dan lain-lain. Baca Al Irwa', hadits no. 22).
JAKARTA - Shalat merupakan perintah Allah SWT. Lihat QS Al-Baqarah [2] 55, 110, 177, 277, An-Nisaa [4]103, 162, Al-Maidah [5]12, Al-An’am [6]72, 92, Al-A’raf [7]29, Al-Anfal [8]3, At-Taubah [9]11, 18, 71, Ar-ra’du [13]22, Ibrahim [14]31, 37, 40, Thaha [20]132, Al-Hajj [22] 78, Al-Ahzab [33]33, dan banyak lagi lainnya. Tujuannya adalah mencegah diri dari perbuatan keji dan mungkar. QS Al-Ankabut [29] 45. Sehingga terbentuk pribadi yang muttaqin QS Al-Baqarah [2] 2-5, yang khusyuk QS Al-Mu’minun [23] 1-2, tawadlu, dan lain sebagainya. Shalat adalah mi’raj-nya seorang Muslim. Shalat merupakan cara seorang Muslim untuk berkomunikasi dengan Allah SWT. Karena itu, setiap melaksanakan shalat, seorang Muslim diperintahkan untuk senantiasa menyucikan diri, baik lahir maupun batin. Karena shalat merupakan cara Muslim menghadap Allah, maka sudah sepantasnya bila dalam kegiatan shalat terbetik pikiran selain hanya berkonsentrasi menghadap Allah. Pertanyaannya, bolehkah bergerak-gerak dalam shalat, yang tentu saja gerakan itu bukan gerakan shalat? Misalnya, menggaruk kukur-kukur Jawa, merapikan pakaian, memukul nyamuk, dan lain sebagainya. Para ulama sepakat, tidak sah shalat seorang Muslim apabila dalam hatinya terdapat maksud selain Allah. Misalnya memikirkan pekerjaan, makanan, keluarga, dan lainnya. Sedangkan dalam hal bergerak-gerak dalam shalat, para ulama juga menyepakati, bahwa tidak sah shalat seorang Muslim yang bergerak-gerak dalam shalat, apalagi gerakan itu bukan pekerjaan shalat, seperti sujud, rukuk, tahiyyat, i’tidal, dan lainnya. Bila ini dilakukan, maka batallah shalatnya. Termasuk dalam hal ini adalah menolehkan kepala atau pandangannya secara sengaja. Perbuatan itu adalah barang rampasan yang dirampas setan dari shalat seorang hamba. HR Bukhari. Beberapa perbuatan yang dianggap membatalkan shalat itu antara lain, berbicara secara sengaja, tertawa terbahak-bahak, makan dan minum secara sengaja, melakukan terlalu banyak gerakan. Tidak menghadap kiblat secara sengaja, batalnya wudlu, mengingat-ingat shalat yang belum dikerjakan, terbukanya aurat, serta tidak tuma’ninah pada saat rukuk, sujud, maupun duduk tahiyyat. Namun demikian, ada sebagian ulama yang menyatakan makruh bergerak dalam shalat, selama gerakan itu tidak merusak rukun shalat. Namun, mereka berbeda pendapat mengenai gerakan tersebut, dan berapa jumlah maksimal gerakan lain di luar gerakan shalat. Imam Syafii menyatakan, banyak bergerak dalam shalat maka hukumnya batal. Demikian juga dengan pendapat Imam Maliki, Hanbali, dan Hanafi. Perbuatan gerak yang membatalkan shalat itu menurut kesepakatan pada ulama mazhab ini, apabila perbuatan gerak tersebut diluar gerakan shalat. Menurut mereka, dalam shalat setiap Muslim diperintahkan agar khusyuk, sebagaimana terdapat dalam surah al-Mu’minun [23] ayat 1-2. Beruntunglah orang-orang yang beriman, yaitu mereka yang khusyuk dalam shalatnya. Syekh Ala’uddin Ali bin Muhammad bin Ibrahim al-Baghdadi dalam kitabnya Tafsir al-Khazin, juz V, halaman 32 menyatakan, khusyuk dalam shalat adalah menyatukan konsentrasi dan berpaling dari selain Allah serta merenungkan semua yang diucapkannya, baik berupa bacaan Alquran ataupun zikir. Dan perbuatan menggerak-gerakkan anggota badannya, dianggap merupakan perbuatan di luar gerakan shalat. Dan perbuatan itu dapat merusak ibadah shalat. Imam Nawawi berpendapat, sebagaimana dinukil oleh Sayyid Sabiq didalam kitabnya Fiqhus Sunnah, Perbuatan yang tidak termasuk dalam pekerjaan shalat jika ia menimbulkan banyak gerak itu membatalkan, tetapi jika hanya menimbulkan sedikit gerak, itu tidaklah membatalkan. Seluruh ulama sepakat dalam hal ini, tetapi dalam menentukan ukuran yang banyak atau gerak yang sedikit terdapat empat pendapat. Imam Nawawi menambahkan, Sahabat sepakat bahwa bergerak banyak yang membatalkan itu ialah jika berturut-turut. Jadi, jika gerakannya berselang-seling, tidaklah membatalkan shalat, seperti melangkah kemudian berhenti sebentar, lalu melangkah lagi selangkah atau dua langkah, yakni secara terpisah-pisah. Adapun gerakan ringan seperti menggerakkan jari untuk menghitung tasbih atau disebabkan gatal dan lainnya, hal itu tidaklah membatalkan shalat walaupun dilakukan secara berturut-turut, namun hukumnya makruh. Fiqhus Sunnah. Janganlah mengusap kerikil ketika sedang shalat, tapi jika kalian terpaksa melakukannya, maka cukuplah dengan meratakannya saja. HR Bukari, Muslim, Tirmidzi, Ahmad, nasai, Ibnu Majah, dan Abu Dawud. Namun, para ulama mengembalikan masalah gerakan ini pada kebiasaan yang lazim. Menurut mereka, batal atau tidaknya gerakan—yang bukan gerakan shalat—sebanyak tiga kali di dalam shalat dikembalikan kepada kebiasaan yang lazim. Jika memang kebiasaan masyarakat setempat menganggap bahwa tiga kali gerakan adalah tidak termasuk dalam banyak gerakan, maka diperbolehkan. Dan jika masyarakat menganggap sebaliknya, maka batallah shalatnya. Karena itu, berhati-hatilah dalam melaksanakan shalat, terutama pada perbuatan yang merupakan bukan gerakan shalat, seperti menggaruk, merapikan pakai, mengusap debu, dan lain sebagainya. Umat Islam diperintahkan untuk khuyuk dan meminimalkan gerakan di luar gerakan shalat, demi kehati-hatian. Wallahu A’lam. Tabel Pendapat Ulama Syafii Makruh, maksimal tiga kali gerakan, dan tidak dilakukan secara berurutan. Maliki Makruh menggerakkan anggota badan selain gerakan shalat Hanafi Makruh menggerakkan anggota badan selain gerakan shalat Hanbali Membatalkan shalat
Perbuatanyang tidak termasuk rukun shalat jenazah adalah? takbir 4 kali membaca shalawat setelah takbir kedua membaca surat al-fatihah setelah takbir ke 1 mengangkat tangan ketika takbir Semua jawaban benar Jawaban: D. mengangkat tangan ketika takbir. Dilansir dari Ensiklopedia, perbuatan yang tidak termasuk rukun shalat jenazah adalah mengangkat tangan ketika takbir. web temakuis
Berdoa tentu ada adab yang patut diperhatikan. Dream - Doa merupakan salah satu cara umat Islam berkomunikasi dengan Tuhannya. Lewat doa, seorang Muslim bisa memanjatkan segala keinginannya. Tentu ada adab yang patut diperhatikan ketika berdoa. Contohnya seperti tengadah tangan dan khusyuk. Terkadang, kita berdoa dengan mengarahkan pandangan ke langit. Kita seolah-olah melihat Allah SWT. Apakah hal ini dibolehkan secara syariat? Dikutip dari bincangsyariah, menatap langit saat berdoa dibolehkan. Rasulullah Muhammad SAW pernah melakukannya. Ini didasarkan pada hadis riwayat Thabarani, dari Maimunah RA. " Rasulullah SAW tidak keluar dari rumahku sama sekali. Kecuali ia mengarahkan pandangannya ke langit seraya berdoa, 'Allahumma inni a'udzubika an udhilla au udhalla. Au uzilla au uzala. Au ajhala au yujhala alayya. Au udzlima au udzlama.' Ya Allah, aku berlindung kepadamu dari berbuat sesat atau disesatkan, dari tergelincir atau digelincirkan, dari kebodohan atau dibodohi, dari berbuat dzalim atau didzalimi." 1 dari 1 halaman Riwayat yang Menguatkan Hadis lain diriwayatkan An Nasai dari Uqbah bin Amir Al Juhani RA mengungkapkan hal serupa. Umar bin Khattab RA pernah berkata kepadaku bahwa Rasulullah SAW bersabda, " Siapa yang berwudhu, maka hendaknya memperbaiki wudhunya. Lalu mengarahkan pandangannya ke langit dan berkata, 'Asyhadu an la ilaha illallah. Wahdahu la syarikalahu. Wa asyhadu anna muhammadan abduhu warasuluhu,' Saya bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah. Satu-satuNya, tidak ada sekutu bagiNya. Dan saya bersaksi bahwa Muhammad hambaNya dan utusanNya. Maka dibukakan untuknya delapan pintu surga, yang ia berhak masuk dari pintu mana saja yang ia mau." Dua hadis di atas memuat ketentuan untuk mengarahkan pandangan ke langit lalu mengucap doa. Sehingga, mengarahkan pandangan ke langit ketika berdoa dibolehkan. Selengkapnya...
Hendaklah orang-orang yang memandang ke atas saat berdoa dalam shalat berhenti atau pandangan mereka akan dirampas." (HR. Muslim, no. 429) Walaupun demikian, memandang ke langit-langit saat shalat tidaklah membatalkan shalat. Inilah pendapat yang lebih kuat. Memandang ke langit-langit menandakan tidak khusyuknya orang yang shalat.
Menghadap kiblat merupakan salah satu syarat sah shalat. Ketentuan tersebut ditegaskan dalam sejumlah dalil baik Alquran maupun hadis Rasulullah SAW. Dalam Alquran surat al-Baqarah ayat 144, Allah SWT berfirman, ''Sungguh Kami sering melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjid al-Haram. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya.'' Perintah Sang Khalik itu diperkuat dengan hadis. Nabi Muhammad SAW bersabda, "Bila kamu hendak mengerjakan shalat, hendaklah menyempurnakan wudlu kemudian menghadap kiblat lalu takbir " HR Bukhari dan Muslim. Atas dasar ayat Alquran dan hadis itulah para ulama, menurut asy-Syaukani, bersepakat bahwa menghadap ke Baitullah hukumnya wajib bagi orang yang melakukan shalat. Lalu timbul persoalan, apakah harus persis ke Baitullah atau boleh hanya ke perkiraan arahnya saja? Dalam konteks ini perlu dipahami bahwa agama Islam bukanlah agama yang sulit dan memberatkan. Namun demikian, perlu berusaha memadukan antara teks dan konteks agar pemahaman tentang arah kiblat mendekati kebenaran. Terdapat perbedaan pandangan di kalangan ulama ketika menentukan pusat arah yang dihadapi itu. Apakah yang dihadapi itu zat kiblat itu sendiri atau cukup dengan menghadap ke arahnya saja. Ensiklopedi Islam terbitan Ichtiar Baru van Hoeve, memaparkan pendapat beberapa imam mazhab. Menurut Imam Syafi'i, orang yang melakukan shalat wajib mengarah pasda zat Ka'bah. Sedangkan orang yang jauh dari Ka'bah cukup dengan memperkirakan saja. Akan tetapi, ada riwayat lain yang mengatakan bahwa Imam Syafi'i membolehkan orang shalat hanya menghadap ke arah ka'bah, bukan pada zatnya. Riwayat itu diterima dari al-Muzanni, murid Imam Syafi'i. Dari dua pendapat yang diriwayatkan dari Imam Syafi'i itu, pendapat pertama ternyata lebih popuper. Lalu bagaimana dengan imam-imam yang lain? Imam-imam mujtahid lainnya seperti Imam Hanafi, Imam Malik dan Imam Hanbali , mewajibkan orang yang jauh dari Ka'bah untuk menghadap ke arah Ka'bah saja. Alasannya, tak mungkin bagi orang yang jauh dari Ka'bah untuk menghadap ke zat Ka'bah itu sendiri. Jika seseorang melakukan shalat di tempat yang sangat gelap, menurut para Imam, boleh menghadap ke arah yang diyakini. Shalatnya dinyatakan sah, asalkan dia telah melakukan shalat tersebut. Akan tetapi, jika ketika selesai shalat mengetahui bahwa arah kiblat yang dihadapinya salah, maka shalatnya wajib di ulangi, kalau masih ada waktu. Itulah pendapat Imam Syafi'i, ulama Hanafiah dan ulama Kufah pada umumnya. Akan tetapi, as-San'ani ahli fikih dan hadis serta asy-Syaukani memandang shalat yang telah dikerjakan itu tak perlu diulang, karena sah. sumber Harian RepublikaBACA JUGA Update Berita-Berita Politik Perspektif Klik di Sini
Perbuatanyang termasuk rukun shalat adalah? Bacalah kutipan teks prosedur berikut! Petunjuk Menggunakan Mesin Bor 1. Pasanglah mata bor. 2. Masukkan steker ke dalam stop-kontak. 3. Arahkan mesin bor dengan tepat ke arah tempat yang akan dilubangi dan dikunci. 4. Hidupkan mesin. 5. Atur kecepatan mesin. 6. Matikan mesin dan tunggu sampai
Senin, 27 Zulqaidah 1444 H / 12 Juli 2010 1030 wib views Segala puji bagi Allah, Rabba semesta alam. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, beserta keluarga dan para sahabatnya. Terdapat sebuah pertanyaan seputar shalat yang sering juga kita saksikan di sekitar kita. Yaitu, bagaimana status shalat orang yang tidak melihat ke tempat sujud saat shalat fardlu atau sunnah. Apakah shalatnya batal, berkurang kesempurnaannya walau tetap sah? Ini merupakan problem yang sering kita saksikan dalam shalat berjama'ah di masjid. Jauhnya kaum muslimin dari mendalami ajaran agamanya menjadi penyebab utama, sehingga permasalahan yang jelas-jelas terdapat larangan dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam banyak dilanggar. Berikut ini penjelasannya Sesungguhnya shalat termasuk salah satu rukun Islam yang sangat agung. Kekhusyu'an dalam pelaksanaannya menjadi tuntutan syariat. Sampai-sampai Allah 'Azza wa Jalla berfirman, قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ اَلَّذِينَ هُمْ فِي صَلَاتِهِمْ خَاشِعُونَ "Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, yaitu orang-orang yang khusyuk dalam shalatnya." QS. Al-Mukminun 1-2 Sesungguhnya Iblis –terlaknat- telah bertekad kuat untuk menyesatkan manusia dan menimpakan fitnah atas mereka. Iblis berkata kepada Rabbnya, Allah 'Azza wa Jalla, ثُمَّ لَآَتِيَنَّهُمْ مِنْ بَيْنِ أَيْدِيهِمْ وَمِنْ خَلْفِهِمْ وَعَنْ أَيْمَانِهِمْ وَعَنْ شَمَائِلِهِمْ وَلَا تَجِدُ أَكْثَرَهُمْ شَاكِرِينَ "Kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur taat." QS. Al-A'raaf 17 Iblis terlaknat telah berjanji untuk melakukan apa saja dengan berbagai cara guna memalingkan orang dari shalat dan menggoda mereka di dalamnya. Tujuannya, supaya mereka tidak merasakan nikmatnya ibadah dan kehilangkan pahala dan manfaatnya yang besar. Di antara faidah khusyu' adalah akan memperingan seorang hamba dalam melaksanaan perintah shalat. Allah Ta'ala berfirman, وَاسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلَّا عَلَى الْخَاشِعِينَ "Dan mintalah pertolongan kepada Allah dengan sabar dan mengerjakan shalat. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk." QS. Al-Baqarah 45 maknanya Beban perintah shalat sangat berat kecuali bagi orang-orang yang khusyu'. Bagi orang yang shalat disyariatkan untuk khusyu' dalam shalatnya, berdiri di hadapan Allah dalam bentuk yang paling sempurna. Dan hal ini tidak bisa terwujud kecuali dengan menjadikan pandangannya mengarah ke tempat sujud atau wajahnya menghadap ke depan kecuali ketika tasyhhud, maka pandangannya tertuju ke jari telunjuk bagian kanan. Sedangkan menoleh atau melirik menjadi sebab hilangnya kekhusyu'an. Telah diriwayatkan dari Aisyah radliyallahu 'anha, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam apabila shalat biasa menundukkan kepalanya dan memandang ke tanah tempat sujud. Adapun ketika duduk tasyahud beliau memandang ke jari telunjuk yang sedang berisyarat, beliau menggerakkannya. Terdapat juga larangan mengangkat pandangan ke langit atas. Larangan ini berbentuk ancaman atas pelakunya sebagaimana yang disabdakan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, إِذَا كَانَ أَحَدُكُمْ فِي صَلَاتِهِ فَلَا يَرْفَعْ بَصَرَهُ إِلَى السَّمَاءِ أَنْ يُلْتَمَعَ بَصَرُهُ "Apabila salah seorang kalian sedang shalat, janganlah ia mengangkat pandangannya ke langit, dikhawatirkan pandangannya akan disambar." HR. Ahmad Larangan ini semakin keras ketika beliau shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, لَيَنْتَهُنَّ عَنْ ذَلِكَ أَوْ لَتُخْطَفَنَّ أَبْصَارُهُم "Hendaknya orang-orang itu menghentikan perbuatannya itu mengangkat pandangan ke langit/dongak atau -jika tidak- niscaya tercungkillah mata mereka." HR. Bukhari dan Muslim Imam al-Nawawi rahimahullah menguraikan tentang makna hadits di atas, "Dalam hadits ini terdapat larangan yang kuat dan ancaman yang keras atas perbuatan itu. Dan telah dinukil adanya ijma’ konsensus atas larangan hal tersebut. Berkata Al-Qadhi Iyadh 'Para ulama berbeda pendapat dalam kemakruhan menengadah pandangan ke langit ketika berdoa di luar waktu shalat.' Syuraih dan lainnya memakruhkan hal itu, namun mayoritas ulama membolehkannya. Mereka mengatakan 'Karena langit adalah kiblatnya doa sebagaimana ka’bah adalah kiblatnya shalat, dan tidaklah diingkari menengadahkan pandangan kepadanya sebagaimana tidak dimakruhkan pula mengangkat tangan ketika berdoa.' Allah Ta’ala berfirman “Dan di langit adanya rezeki kalian dan apa-apa yang dijanjikan kepada kalian.” Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 2/171. Mawqi’ Ruh Al Islam Kita memohon kepada Allah agar menerima shalat kita, ketaatan kita, dan seluruh amal shalih yang kita kerjakan. Sesungguhnya Allah Mahamendengar dan Mahadekat. Semoga juga shalat dan salam Allah limpahkan kepada Nabi kita Muhamad beserta keluarga dan para sahabatnya. Oleh Badrul Tamam Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita! +Pasang iklan Gamis Syari Murah Terbaru Original FREE ONGKIR. Belanja Gamis syari dan jilbab terbaru via online tanpa khawatir ongkos kirim. Siap kirim seluruh Indonesia. Model kekinian, warna beragam. Adem dan nyaman dipakai. Cari Obat Herbal Murah & Berkualitas? Di sini Melayani grosir & eceran herbal dari berbagai produsen dengan > jenis produk yang kami distribusikan dengan diskon sd 60% Hub 0857-1024-0471 Dicari, Reseller & Dropshipper Tas Online Mau penghasilan tambahan? Yuk jadi reseller tas TBMR. Tanpa modal, bisa dikerjakan siapa saja dari rumah atau di waktu senggang. Daftar sekarang dan dapatkan diskon khusus reseller NABAWI HERBA Suplier dan Distributor Aneka Obat Herbal & Pengobatan Islami. Melayani Eceran & Grosir Minimal 350,000 dengan diskon 60%. Pembelian bisa campur produk > jenis produk.
SungguhKami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. (Al Baqarah:144) Sebelumnya: Pemindahan Kiblat dari Baitul Maqdis ke Ka'bah. Al-Barra melanjutkan kisahnya, bahwa setelah itu Nabi ﷺ menghadapkan wajahnya ke arah kiblat.
Eramuslim – Menghadap kiblat merupakan salah satu syarat sah shalat. Ketentuan tersebut ditegaskan dalam sejumlah dalil baik Alquran maupun hadis Rasulullah SAW. Dalam Alquran surat al-Baqarah ayat 144, Allah SWT berfirman, ”Sungguh Kami sering melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjid al-Haram. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya.” Perintah Sang Khalik itu diperkuat dengan hadis. Nabi Muhammad SAW bersabda, “Bila kamu hendak mengerjakan shalat, hendaklah menyempurnakan wudlu kemudian menghadap kiblat lalu takbir ” HR Bukhari dan Muslim. Atas dasar ayat Alquran dan hadis itulah para ulama, menurut asy-Syaukani, bersepakat bahwa menghadap ke Baitullah hukumnya wajib bagi orang yang melakukan shalat. Lalu timbul persoalan, apakah harus persis ke Baitullah atau boleh hanya ke perkiraan arahnya saja? Dalam konteks ini perlu dipahami bahwa agama Islam bukanlah agama yang sulit dan memberatkan. Namun demikian, perlu berusaha memadukan antara teks dan konteks agar pemahaman tentang arah kiblat mendekati kebenaran. Terdapat perbedaan pandangan di kalangan ulama ketika menentukan pusat arah yang dihadapi itu. Apakah yang dihadapi itu zat kiblat itu sendiri atau cukup dengan menghadap ke arahnya saja. Ensiklopedi Islam terbitan Ichtiar Baru van Hoeve, memaparkan pendapat beberapa imam mazhab. Halaman 1 2
Yang termasuk perbuatan bid'ah adalah was-was (selalu ragu) sewaktu berniat sholat. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melarang keras menengadah ke langit (ketika sholat). Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: Adapun bagi imam dan orang yang sholat sendiri, maka
Ini adalah aktifitas yang dibenci jika dilakukan di dalam shalat, walau tidak membatalkannya, tetapi hendaknya ditinggalkan demi kesempurnaan shalat kita. Mempermainkan Baju Atau Anggota Badan Kecuali Jika Ada Keperluan عن معيقب قال سألت النبي صلى الله عليه وسلم عن مسح الحصى في الصلاة فقال لا تمسح الحصى وأنت تصلي فإن كنت لابد فاعلا فواحدة تسوية الحصى رواه الجماعة. Dari Mu’aiqib, dia berkata Aku bertanya kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam tentang meratakan kerikil ketika shalat. Maka Beliau menjawab “Janganlah meratakan kerikil ketika shalat, tapi jika terpaksa meratakannya, cukuplah dengan meratakannya sekali hapus saja.” HR. Muslim No. 546, dan lainnya Imam Muslim memasukkan hadits ini dalam kitab Shahihnya, dengan judul Karahah Masaha Al Hasha wa Taswiyah At Turab fi Ash Shalah Makruhnya Mengusap Kerikil dan Meratakan Tanah ketika Shalat. Riwayat lain وعن أبي ذر أن النبي صلى الله عليه وسلم قال إذا قام أحدكم إلى الصلاة فإن الرحمة تواجهه فلا يمسح الحصى أخرجه أحمد وأصحاب السنن. Dari Abu Dzar, bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda “Jika salah seorang kalian mendirikan shalat, maka saat itu dia sedang berhadapan dengan rahmat kasih sayang, maka janganlah dia meratakan kerikil.” HR. At Tirmidzi No. 379, Abu Daud No. 945, Ahmad No. 21330, 21332, 21448, 21554, Ibnu Majah No. 1027, Ibnul Mubarak dalam Az Zuhd No. 1185, Ibnu Khuzaimah No. 913, 914, Ad Darimi No. 1388, Ibnu Hibban No. 2273, Al Baghawi No. 663, Ath Thabarani dalam Musnad Asy Syamiyin No. 1804, Ath Thahawi dalam Syarh Musykilul Aatsar No. 1427 Imam At Tirmidzi menghasankan hadits ini, dan diikuti oleh Imam Al Baghawi. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan isnadnya memungkinkan untuk dihasankan. Tahqiq Musnad Ahmad No. 35/259. Sedangkan Al Hafizh Ibnu Hajar menshahihkannya. Bulughul Maram Hal. 48. Darul Kutub Al Islamiyah Adapun Syaikh Al Albani mendhaifkan hadits ini dalam berbagai kitabnya. Shahihul Jami’ No. 613, Tahqiq Misykah Al Mashabih No. 1001, dan lainnya Penyebab terjadinya perbedaan dalam menilai hadits ini adalah disebabkan adanya seorang rawi bernama Abu Al Ahwash. Tidak ada orang yang meriwayatkan darinya kecuali Imam Az Zuhri, dan Imam Ibnu Hibban memasukkannya dalam kitab Ats Tsiqaat Orang-Orang Terpercaya. Sedangkan Imam An Nasa’i mengatakan kami tidak mengenalnya. Imam Ibnu Ma’in mengatakan dia bukan apa-apa. Imam Yahya bin Al Qaththan mengatakan tidak diketahui keadaannya. Begitu pula Imam Al Hakim “Laisa bil matiin indahum – Tidak kuat menurut mereka para ulama.” Tahqiq Musnad Ahmad No. 35/259 Dari Ummu Salamah, bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda kepada seseorang bernama Yasar yang ketika shalat meniup-niup tanah. ترب وجهك لله “Perdebukanlah wajahmu untuk menyembah Allah.” HR. Ahmad No. 26572 Syaikh Sayyid Sabiq mengatakan sanadnya jayyid/baik. Fiqhus Sunnah, 1/268 Syaikh Al Albani mengoreksi Syaikh Sayyid Sabiq dengan mengatakan كلا ليس بجيد فإن فيه عند أحمد وغيره أبا صالح مولى آل طلحة ولا يعرف كما قال الذهبي وأشار الحافظ إلى أنه لين الحديث “Tidak, hadits ini tidak jayyid, karena di dalamnya –pada irwayat Ahmad dan selainnya- terdapat Abu Shalih pelayan keluarga Thalhah, dan dia tidak dikenal sebagaimana dikatakan Adz Dzahabi, dan Al Hafizh Ibnu Hajar mengisyaratkan bahwa hadits ini layyin lemah.” Tamamul Minnah Hal. 313 Syaikh Syu’aib Al Arnauth juga mengatakan isnaaduhu dhaif- isnadnya lemah. Tahqiq Musnad Ahmad, 44/196 Bertolak Pinggang عن أبي هريرة قال نهى رسول الله صلى الله عليه وسلم عن الاختصار في الصلاة. رواه أبو داود وقال يعني يضع يده على خاصرته. Dari Abu Hurairah, dia berkata “Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam melarang bertolak pinggang ketika shalat.” HR. Muslim No. 545, Abu Daud No. 947, dia berkata yaitu meletakkan tangan di atas pinggangnya. Ad Darimi No. 1428, Ibnu Hibban No. 2285. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud No. 947, dan hadits ini menurut lafaz Abu Daud Imam At Tirmidzi mengatakan وقد كره قوم من أهل العلم الاختصار في الصلاة. والاختصار هو أن يضع الرجل يده على خاصرته في الصلاة. وكره بعضهم أن يمشي الرجل مختصرا ويروى أن إبليس إذا مشى يمشي مختصرا. “Sekelompok ulama telah memakruhkan bertolak pinggang ketika shalat. Bertolak pinggang adalah seseorang yang meletakkan pinggangnya ketika shalat. Sebagian mereka memakruhkan seseorang yang berjalan sambil bertolak pinggang. Diriwayatkan bahwa Iblis jika berjalan dia sambil bertolak pinggang.” Sunan At Tirmidzi No. 381 Sementara Imam An Nawawi Rahimahullah menuliskan قِيلَ نَهَى عَنْهُ لِأَنَّهُ فِعْل الْيَهُود . وَقِيلَ فِعْل الشَّيْطَان . وَقِيلَ لِأَنَّ إِبْلِيس هَبَطَ مِنْ الْجَنَّة كَذَلِكَ ، وَقِيلَ لِأَنَّهُ فِعْلُ الْمُتَكَبِّرِينَ . “Disebutkan hal itu dilarang karena merupakan perbuatan Yahudi. Disebutkan perbuatan syetan. Disebutkan pula karena iblis diusir dari surga dengan seperti itu. Dikatakan pula itu adalah perilaku orang sombong. Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 2/310. Mawqi’ Ruh Al Islam Menengadahkan Wajah Ke Langit-Langit عن أبي هريرة أن النبي صلى الله عليه وسلم لينتهين أقوام يرفعون أبصارهم إلى السماء في الصلاة أو لتخطفن أبصارهم Dari Abu Hurairah, bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda “Hendaknya orang-orang itu menghentikan perbuatannya menengadahkan pandangan ke langit ketika shalat, atau jika tidak, niscaya tercungkillah mata mereka!” HR. Muslim No. 428, Abu Daud No. 912, Al Baihaqi, As Sunannya No. 3351, Abu Ya’ala No. 7473, Ibnu Abi Syaibah, Al Mushannaf, 58/3, hadits ini diriwayatkan melalui berbagai sahabat dengan redaksi yang sedikit berbeda, yakni dari Abu Hurairah, Anas, dan Jabir bin Samurah Imam An Nawawi Rahimahullah menjelaskan فِيهِ النَّهْي الْأَكِيد وَالْوَعِيد الشَّدِيد فِي ذَلِكَ وَقَدْ نَقَلَ الْإِجْمَاع فِي النَّهْي عَنْ ذَلِكَ . قَالَ الْقَاضِي عِيَاض وَاخْتَلَفُوا فِي كَرَاهَة رَفْع الْبَصَر إِلَى السَّمَاء فِي الدُّعَاء فِي غَيْر الصَّلَاة فَكَرِهَهُ شُرَيْح وَآخَرُونَ ، وَجَوَّزَهُ الْأَكْثَرُونَ ، وَقَالُوا لِأَنَّ السَّمَاء قِبْلَة الدُّعَاء كَمَا أَنَّ الْكَعْبَة قِبْلَة الصَّلَاة ، وَلَا يُنْكِر رَفْع الْأَبْصَار إِلَيْهَا كَمَا لَا يُكْرَه رَفْع الْيَد . قَالَ اللَّه تَعَالَى { وَفِي السَّمَاء رِزْقكُمْ وَمَا تُوعَدُونَ } . “Dalam hadits ini terdapat larangan yang kuat dan ancaman yang keras atas perbuatan itu. Dan telah dinukil adanya ijma’ konsensus atas larangan hal tersebut. Berkata Al Qadhi Iyadh para ulama berbeda pendapat dalam kemakruhan menengadah pandangan ke langit ketika berdoa di luar waktu shalat. Syuraih dan lainnya memakruhkan hal itu, namun mayoritas ulama membolehkannya. Mereka mengatakan karena langit adalah kiblatnya doa sebagaimana ka’bah adalah kiblatnya shalat, dan tidaklah diingkari menengadahkan pandangan kepadanya sebagaimana tidak dimakruhkan pula mengangkat tangan ketika berdoa. Allah Ta’ala berfirman “Dan di langit adanya rezeki kalian dan apa-apa yang dijanjikan kepada kalian.” Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 2/171. Mawqi’ Ruh Al Islam Sementara Imam Ibnu Bathal Rahimahullah menerangkan العلماء مجمعون على القول بهذا الحديث وعلى كراهية النظر إلى السماء فى الصلاة ، وقال ابن سيرين كان رسول الله مما ينظر إلى السماء فى الصلاة ، فيرفع بصره حتى نزلت آية إن لم تكن هذه فما أدرى ما هى الذين هم فى صلاتهم خاشعون [ المؤمنون 2 ] ، قال فوضع النبى رأسه . “Ulama telah ijma’ bahwa hadits ini merupakan dasar bagi pendapat makruhnya memandang langit ketika shalat. Ibnu Sirin mengatakan Bahwa Rasulullah pernah memandang ke langit ketika shalat, Beliau menaikan penglihatannya sehingga turunlah ayat yang jika hal ini tidak terjadi saya tidak tahu apa maksud ayat “Orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya.” QS. Al Mu’minun 23 2, dia berkata “Maka Rasulullah menundukkan kepalanya.” Imam Ibnu Bathal, Syarh Shahih Bukhari, 2/364. Cet. 3. 2003M-1423H. Maktabah Ar Rusyd, Riyadh Melihat Sesuatu Yang Dapat Melalaikan عن عائشة أن النبي صلى الله عليه وسلم صلى في حميصة لها أعلام فقال شغلتني أعلام هذه، اذهبوا بها إلى أبي جهم واتوني بأنبجانيته رواه البخاري ومسلم. Dari Aisyah, bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam shalat memakai pakaian berbulu yang bergambar, lalu dia bersabda “Gambar-gambar ini mengganggu pikiranku, kembalikan ia ke Abu Jahm, tukar saja dengan pakaian bulu kasar yang tak bergambar.” HR. Bukhari No. 752, Muslim No. 556 عن أنس قال كان قرام لعائشة سترت به جانب بيتها فقال لها النبي صلى الله عليه وسلم أميطي قرامك، فإنه لا تزال تصاويره تعرض لي في صلاتي Dari Anas, dia berkata Aisyah punya tirai tipis yang dipasang di depan pintu rumahnya maka Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam pun bersabda Turunkanlah tiraimu itu, karena gambar-gambarnya menggangguku dalam shalatku.” HR. Bukhari No. 367, 5614 Syaikh Sayyid Sabiq mengatakan وفي هذا الحديث دليل على أن استثبات الخط المكتوب في الصلاة لا يفسدها. “Dalam hadits ini terdapat dalil bahwa memakai pakaian bergambar tidaklah membatalkan shalat.” Fiqhus Sunnah, 1/269. Darl Kitab Al Arabi Ya, namun hal itu makruh lantaran berpotensi merusak kekhusyukan shalat. Memejamkan Mata Sebenarnya Para Ulama berbeda pendapat, antara memakruhkan dan membolehkan. Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah تغميض العينين كرهه البعض وجوزه البعض بلا كراهة، والحديث المروي في الكراهة لم يصح “Memejamkan mata sebagian ulama ada yang memakruhkan, sebagian lain membolehkan tidak makruh. Hadits yang meriwayatkan kemakruhannya tidak shahih.” Fiqhs Sunnah, 1/269. Darul Kitab Al Arabi Para Ulama Yang Memakruhkan Imam Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra, mengatakan وروينا عن مجاهد وقتادة انهما كانا يكرهان تغميض العينين في الصلوة وروى فيه حديث مسند وليس بشئ “Kami meriwayatkan dari Mujahid dan Qatadah bahwa mereka berdua memakruhkan memejamkan mata dalam shalat. Tentang hal ini telah ada hadits musnad, dan hadits tersebut tidak ada apa-apanya.” As Sunan Al Kubra, 2/284 Ini juga menjadi pendapat Sufyan Ats Tsauri. Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 3/314. Darul Fikr Selain mereka adalah Imam Ahmad, Imam Abu Ja’far Ath Thahawi, Imam Abu Bakar Al Kisani, Imam As Sayyid Bakr Ad Dimyathi, dan lainnya. Alasan pemakruhannya adalah karena memejamkan mata merupakan cara ibadahnya orang Yahudi, dan kita dilarang meniru mereka dalam urusan dunia, apalagi urusan ibadah. Para Ulama Yang Membolehkan Imam Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dari Zaid bin Hibban, telah bercerita kepada kami Jamil bin Ubaid,katanya سمعت الحسن وسأله رجل أغمض عيني إذا سجدت فقا إن شئت. “Aku mendengar bahwa ada seorang laki-laki bertanya kepada Al Hasan, tentang memejamkan mata ketika sujud. Al Hasan menjawab “Jika engkau mau.” Al Mushannaf Ibnu Abi Syaibah, 2/162 Disebutkan oleh Imam An Nawawi, tentang pendapat Imam Malik Radhiallahu Anhu وقال مالك لا بأس به في الفريضة والنافلة “Berkata Malik tidak apa-apa memejamkan mata, baik pada shalat wajib atau sunah.” Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 3/314. Darul Fikr Semua sepakat bahwa memejamkan mata tidak haram, dan bukan pembatal shalat. Perbedaan terjadi antara makruh dan mubah. Jika dilihat dari sisi dalil -dan dalil adalah hal yang sangat penting- ternyata tidak ada hadits yang shahih tentang larangannya, sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikh Sayyid Sabiq, dan diisyaratkan oleh Imam Al Baihaqi. Namun, telah shahih dari tabi’in bahwa hal itu adalah cara shalatnya orang Yahudi, dan tidak boleh menyerupai mereka dalam hal keduniaan, lebih-lebih ritual keagamaan. Maka, pandangan kompromis yang benar dan bisa diterima dari fakta-fakta ini adalah seperti apa yang diulas Imam Ibnul Qayyim Rahimahullah sebagai berikut وقد اختلف الفقهاء في كراهته، فكرِهه الإِمامُ أحمد وغيرُه، وقالواهو فعلُ اليهود، وأباحه جماعة ولم يكرهوه، وقالوا قد يكونُ أقربَ إلى تحصيل الخشوع الذي هو روحُ الصلاة وسرُّها ومقصودها. والصواب أن يُقال إن كان تفتيحُ العين لا يُخِلُ بالخشوع، فهو أفضل، وإن كان يحول بينه وبين الخشوع لما في قبلته من الزخرفة والتزويق أو غيره مما يُشوش عليه قلبه، فهنالك لا يُكره التغميضُ قطعاً، والقولُ باستحبابه في هذا الحال أقربُ إلى أصول الشرع ومقاصده من القول بالكراهة، والله أعلم. “Para fuqaha telah berselisih pendapat tentang kemakruhannya. Imam Ahmad dan lainnya memakruhkannya. Mereka mengatakan itu adalah perilaku Yahudi, segolongan yang lain membolehkannya tidak memakruhkan. Mereka mengatakan Hal itu bisa mendekatkan seseorang untuk mendapatkan kekhusyu’an, dan itulah ruhnya shalat, rahasia dan maksudnya. Yang benar adalah jika membuka mata tidak menodai kekhusyu’an maka itu lebih utama. Dan, jika justru hal itu mengganggu dan tidak membuatnya khusyu’ karena dihadapannya terdapat ukiran, lukisan, atau lainnya yang mebuat hatinya tidak tenang, maka secara qath’i meyakinkan memejamkan mata tidak makruh. Pendapat yang menganjurkan memejamkan mata dalam kondisi seperti ini lebih mendekati dasar-dasar syariat dan maksud-maksudnya, dibandingkan pendapat yang mengatakan makruh. Wallahu A’lam.” Zaadul Ma’ad, 1/294. Muasasah Ar Risalah Memberikan Isyarat Dengan Tangan Ketika Salam Hal ini banyak dilakukan orang awam. Mereka membuka tangan kanannya dan membalikkannya ketika salam pertama dan begitu pula dengan tangan kiri ketika salam kedua. Dari Jabir bin Samurah, katanya كنا نصلي خلف النبي صلى الله عليه وسلم فقال ما بال هؤلاء يسلمون بأيديهم كأنها أذناب خيل شمس إنما يكفي أحدكم أن يضع يده على فخذه ثم يقول السلام عليكم السلام عليكم رواه النسائي وغيره وهذا لفظه. “Kami shalat di belakang Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, dia bersabda “Kenapa mereka mengucapkan salam sambil mengisyaratkan tangan mereka, tak ubahnya seperti kuda liar! Cukuplah bagi kalian meletakkan tangannya di atas pahanya, lalu mengucapkan Assalamu Alaikum, Assalamu Alaikum. “ HR. An Nasa’i No. 1185, dan lainnya, dan ini adalah lafaz darinya. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih wa Dhaif Sunan An Nasa’i No. 1185 Menutup Mulut dan Menjulurkan Kain Sarung/Gamis/Celana Panjang Hingga Ke Tanah عن أبي هريرة قال نهى رسول الله صلى الله عليه وسلم عن السدل في الصلاة، وأن يغطي الرجل فاه “Dari Abu Hurairah, katanya “Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam melarang menjulurkan kain ke bawah ketika shalat dan seseorang menutup mulutnya.” HR. Abu Daud No. 643, Al Baihaqi, As Sunan Al Kubra, No. 3125, Ibnu Khuzaimah No. 772, dan Hakim No. 631, katanya shahih sesuai syarat Bukhari dan Muslim. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami’ No. 6883 Apa Maksudnya? قال الخطابي السدل إرسال الثوب حتى يصيب الارض، وقال الكمال بن الهمام ويصدق أيضا على لبس القباء من غير إدخال اليدين في كمه. Berkata Al Khathabi Menurunkan kain maksudnya menjulurkannya hingga menggeser di tanah. Berkata Kamaluddin Al Hummam Termasuk dalam hal ini adalah mengenakan baju tanpa memasukkan tangan ke lobang tangannya. Fiqhus Sunnah, 1/270 Imam At Tirmidzi Rahimahullah mengatakan وقد اختلف أهل العلم في السدل في الصلاة. فكره بعضهم السدل في الصلاة وقالوا هكذا تصنع اليهود وقال بعضهم إنما كره السدل في الصلاة إذا لم يكن عليه إلا ثوب واحد، فأما إذا سدل على القميص فلا بأس وهو قول أحمد. وكره ابن المبارك السدل في الصلاة. “Para ulama telah berbeda pendapat tentang menjulurkan kain dalam shalat. Sebagian mereka memakruhkannya, mereka mengatakan itu adalah perbuatan Yahudi. Sebagian lain mengatakan bahwasanya pemakruhan itu hanya jika menggunakan satu pakaian saja, ada pun jika yang dijulurkan pakaian itu adalah sebagai bagian luar dari gamis, maka tidak apa-apa, ini adalah pendapat Ahmad. Ibnul Mubarak memakruhakan menjulurkan kain dalam shalat.” Sunan At Tirmidzi No. 376 Shalat Ketika Makanan Telah Tersedia Dan Menahan Buang Air Besar dan Buang Air Kecil Dari Aisyah Radhiallah Anha bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda لَا صَلَاةَ بِحَضْرَةِ الطَّعَامِ وَلَا هُوَ يُدَافِعُهُ الْأَخْبَثَانِ “Tidak ada shalat ketika makanan sudah terhidangkan, dan menahan dua hal yang paling busuk menahan buang air besar dan kencing.” HR. Muslim No. 559, Abu Daud No. 89, Al Baihaqi, As Sunan Al Kubra No. 4816, Ibnu Khuzaimah No. 933, Ibnu Hibban No. 2072, dari Abu Hurairah, tanpa kalimat “tidak ada shalat ketika makanan sudah terhidangkan.” Hadits ini diperkuat oleh hadits berikut عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا وُضِعَ عَشَاءُ أَحَدِكُمْ وَأُقِيمَتْ الصَّلَاةُ فَابْدَءُوا بِالْعَشَاءِ وَلَا يَعْجَلْ حَتَّى يَفْرُغَ مِنْهُ وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ يُوضَعُ لَهُ الطَّعَامُ وَتُقَامُ الصَّلَاةُ فَلَا يَأْتِيهَا حَتَّى يَفْرُغَ وَإِنَّهُ لَيَسْمَعُ قِرَاءَةَ الْإِمَامِ Dari Ibnu Umar dia berkata, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda “Jika telah dihidangkan makan malam, dan waktu shalat telah datang, maka mulailah makan malam dan jangan tergesa-gesa sampai selesai.” Ibnu Umar pernah dihidangkan makan dan shalat tengah didirikan, namun dia tidak mengerjakannya sampai dia menyelesaikan makannya, dan dia benar-benar mendengar bacaan Imam.” HR. Bukhari No. 640,641,642, Muslim No. 557, 558,559, 560. Ibnu Majah No. 933, 934 Imam An Nawawi Rahimahullah berkata فِي هَذِهِ الْأَحَادِيث كَرَاهَة الصَّلَاة بِحَضْرَةِ الطَّعَام الَّذِي يُرِيد أَكْله ، لِمَا فِيهِ مِنْ اِشْتِغَال الْقَلْب بِهِ ، وَذَهَاب كَمَالِ الْخُشُوع ، وَكَرَاهَتهَا مَعَ مُدَافَعَة الْأَخْبَثِينَ وَهُمَا الْبَوْل وَالْغَائِط ، وَيَلْحَق بِهَذَا مَا كَانَ فِي مَعْنَاهُ يَشْغَل الْقَلْب وَيُذْهِب كَمَال الْخُشُوع “Hadits-hadits ini menunjukkan kemakruhan melaksanakan shalat ketika makanan yang diinginkan telah tersedia, karena hal itu akan membuat hatinya terganggu, dan hilangnya kesempurnaan khusyu’, dan juga dimakruhkan melaksanakan shalat ketika menahan dua hal yang paling busuk, yaitu kencing dan buang air besar. Karena hal ini mencakup makna menyibukkan hati dan hilangnya kesempurnaan khusyu’.” Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 2/321. Mawqi’ Ruh Al Islam Bahkan kalangan madzhab Zhahiriyah menganggap batal shalat dalam keadaan seperti itu وَنَقَلَ الْقَاضِي عِيَاض عَنْ أَهْل الظَّاهِر أَنَّهَا بَاطِلَة “Dinukil oleh Al Qadhi Iyadh dari ahluzh zhahir, bahwa hal itu batal shalatnya.” Aunul Ma’bud, 1/113. Syamilah Shalat Dalam Keadaan Ngantuk عن عائشة أن النبي صلى الله عليه وسلم قال إذا نعس أحدكم فليرقد حتى يذهب عنه النوم، فإنه إذا صلى وهو ناعس لعله يذهب يستغفر فيسب نفسه رواه الجماعة. Dari Aisyah, bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda “Jika salah seorang kalian ngantuk, hendaknya dia tidur dulu hingga hilang rasa ngantuknya, sedangkan jika dia shalat dalam keadaan ngantuk itu, bisa jadi dia ingin istighfar ternyata dia mengucapkan caci maki untuk dirinya.” HR. Al Jama’ah وعن أبي هريرة أن النبي صلى الله عليه وسلم قال إذا قام أحدكم من الليل فاستعجم القرآن على لسانه فلم يدر ما يقول فليضطجع رواه أحمد ومسلم. Dari Abu Hurairah, bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda “Jika salah seorang kalian bangun malam dan masih ngantuk sehingga lidahnya berat membaca Al Quran dan ia tidak sadar apa yang dibacanya itu, maka sebaiknya dia tidur lagi!” HR. Ahmad dan Muslim Makmum Mengkhususkan Tempat Tersendiri Baginya Dari Abdurrahman bin Syibil, katanya سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَنْهَى عَنْ ثَلَاثٍ عَنْ نَقْرَةِ الْغُرَابِ وَعَنْ افْتِرَاشِ السَّبُعِ وَأَنْ يُوطِنَ الرَّجُلُ الْمَقَامَ كَمَا يُوطِنُ الْبَعِيرُ “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam melarang dari tiga hal, yakni melarang seseorang ruku atau sujud seperti burung gagak, duduk seperti duduknya binatang buas, dan seseorang yang menempati tempat tertentu untuk dirinya di masjid bagaikan unta yang menempatkan tempat tertentu untuk berbaring.” HR. Abu Daud No. 862, An Nasa’i No. 1112, Ibnu Majah No. 1429, Ahmad No. 14984, 14985, juga Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan Al Hakim, katanya shahih, dan disepakati oleh Adz Dzahabi Ada pun Syaikh Al Albani menghasankan dalam berbagai kitabnya, seperti Misykah Al Mashabih, Ats Tsamar Al Mustathab, As Silsilah Ash Shahihah, Shahih At Targhib wat Tarhib, Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud, Shahih wa Dhaif Sunan Ibni Majah, dan Shahih wa Dhaif Sunan An Nasa’i. Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah menjadikan hadits ini sebagai dalil hal-hal yang dimakruhkan dalam shalat. Fiqhus Sunnah, 1/271. Darul Kitab Al Arabi Begitu pula yang dikatakan oleh Imam Asy Syaukani bahwa hadits ini merupakan dalil makruhnya makmum membiasakan shalat ditempat khusus. Nailul Authar, 3/196. Maktabah Ad Da’wah Al Islamiyah Sedangkan Syaikh Al Albani menyatakan keharaman perilaku makmum yang mengkhususkan tempat tertentu untuk dirinya. Ats Tsamar Al Mustathab, Hal. 669. Cet. 1. Ghiras Lin Nasyr wat Tauzi’ Demikianlah hal-hal yang dimakruhkan dalam shalat. Sementara, Syaikh Sayyid Sabiq menambahkan bahwa sengaja meninggalkan sunah-sunahnya shalat juga termasuk perbuatan yang makruh. Wallahu A’lam
iz8tO. 3o5mz5vmn0.pages.dev/8523o5mz5vmn0.pages.dev/2173o5mz5vmn0.pages.dev/7373o5mz5vmn0.pages.dev/8573o5mz5vmn0.pages.dev/1823o5mz5vmn0.pages.dev/5833o5mz5vmn0.pages.dev/8133o5mz5vmn0.pages.dev/6403o5mz5vmn0.pages.dev/7063o5mz5vmn0.pages.dev/1593o5mz5vmn0.pages.dev/9753o5mz5vmn0.pages.dev/9403o5mz5vmn0.pages.dev/8423o5mz5vmn0.pages.dev/6313o5mz5vmn0.pages.dev/682
menengadah ke langit ketika shalat termasuk perbuatan yang hukumnya